Minggu, 05 Juni 2011

Naga Sakti Muncul

Setelah penduduk Nusantara hidup dalam keadaan kacau, sampai kepuncaknya maka muncullah secara gaib Naga Sakti di sekitar sumur pusaka melalui saung - saungnya yg kemudian berubah menjadi seorang Aji (Prabu) dari SAKA pada tahun 38 masehi. Saung-saung tersebut menembus ke sumur putri yg ada di Lampung dan di gunung Karang (Jawa tengah). Malahan sumur pusaka tersebut ada tembusnya ke napal-napal, antara lain napal pahat dan ada reliereliea berbentuk Candi Budha, ada pula dikanannya susunan batu seakan - akan bangunan candi belum selesai. Aji Saka (Naga Sakti) muncul dari tempat bersemayamnyadi pusaran laut /putaran Tasik untuk menurunkan hukum kebenaran yg pada hakekatnya himbauan (pemanggilan) masyarakat yg haus akan hukum itu. Tempat tersebut sekarang di sebut Saka Tenggelom (Sekalom). Dgn sifat2 tersebut di atas "Berbudi Bawa dan seterusnya " wajarlah jika Aji Saka dalam pemerintahanya (Kerajaan Saka) menggunakan istilah terhadap rakyat "Nderek Karsa Dalem dan Wisasa Ing Sanagari " atau "Gung Binathara Bau Dendha Nyakrawati" pemelihara hukum dan penguasa dunia, malahan sebenarnya beliau adalah Raja Alam Gaib/Dunia (ilmu kebathinan /kepercayaan). Sebagai raja alam gaib salah satu sebab Nabi Khaidir As (Naga Sakti) turun muncul dalam tahun 38 masehi sebagai Aji Saka (Si Pahit Lidah) untuk memberantas kaum dinamisme (Agama Hindu), apalagi yang mengobrak-abrik masyarakat Saka Tua (penduduk di sekitar bukit barisan) adalah Raja-Raja zalim/Hindu. Keagungan Aji Saka tersebar keluar wilayah Nusantara yg dilambangkan Garuda Sakti pembawa (penurun hukum) Jaya Sempurna yg berinti akan keTuhanan yakni Pri Kasih sayang dan lain2, keagungan Beliau itu di mottokan "memperingatkan, pemeliharaan dan pembangunan". Hukum yg beliau bawa di lambangkan dalam warna Merah (Matahari) dan Putih Bulan di turunkan beruntun sepanjang zaman untuk di tetapkan /senantiasa di ingat sebagai cara hidup manusia bermasyarakat, oleh karena demikian Hukum tersebut pada hakekatnya merupakan rantai tak putus-putusnya berlambangkan Matahari dan Bulan. Hakekat matahari dan bulan ialah cahaya yg berhubungan satu sama lain. Cahaya tersebut pada hakekatnya Nur Ilahi yg mengandung Nur/Hukum Pri Kasih Sayang yg menyorot sepanjang zaman memberi kehidupan Zhohir dan bathin pada alam nyata dan alam gaib. Hukum tersebut turun dari Tuhan Yang Maha Esa kebumi tempat manusia hidup bermasyarakat yg hakekatnya hidup bersepakat /bermusyawarah yg adil di lambangkan sebagai BUMI, berarti setiap manusia itu mempunyai hak yg sama tidak ada yg lemah /kuat dan sebagainya, seperti bumi tidak ada yg atas dan bawah, kiri dan kanan, tepi dan tengah kecuali di kulit bumi dan di dalam bumi (alias mati). Adapun lambang ini adalah lambang yang di kiaskan oleh Naga Sakti /Nabi Khaidir As semasa Beliau turun kembali sebagai Sang Hiang Rakian Sakti /Pangeran Surya Negara. Jiwa dari hukum tersebut adalah segala tindakan harus bersifat adil dan tidak bersifat mengekang, menekan, memeras/intimidasi dan mendiskreditkan langsung maupun tidak langsung. Pada pemerintahan Aji Saka masyarakat Sekalom khususnya di sekitar Bukit Barisan umumnya menganut Falsafah Jaya Sempurna seutuhnya dan kepercayaan mereka adalah Animisme Gaya Baru, dimana falsafah itu telah banyak memasuki sebelumnya. Pada saat beliau akan kembali lagi ke alam gaib (pusaran laut /putaran tasik), secara kebetulan kekuasaan Hindu timbul (pemberontakan)di daerah Minang sekarang tahun 78 masehi. Dgn gigih Beliau memberantasnyahanya saja memberantasnya tidak secara zalim pula, mengingat beliau adalah mengemban tugas Tuhan Yang Maha Esa. Raja pemberontak/pengacau adalah Prabu Niska (Si Mata Empat) yg sangad menonjolkan kesombongannya/kesaktiannya sehingga yg bersangkutan di juluki masyarakat Si Mata Empat seakan-akan dapat melihat ke empat penjuru dunia yg ingin di sapunya. Menghadapi siasat yg bijaksana dari Nabi Khaidir As (Aji Saka/Si Pahit Lidah) maka atas ulah sendiri Prabu Niska dgn suku Hindunya berangsur-angsur lari (melayu) ke Nusa Kendeng. Kemudian pada suatu ketika di pancing oleh Aji Saka (Si Pahit Lidah) supaya kembali ke pusat Kerajaan Saka untuk mati bersama secara sportif dgn menggunakan sifat sombong /kebodohan Prabu Niska (Si Mata Empat) sendiri. Aji Saka (Si Pahit Lidah) pura2 mencari Prabu Niska (Si Mata Empat) di Nusa Kendeng. Disana beliau melakukan sumpah di suatu pohon Maja yg juga sebagai penetapan pertanda bahwa Aji Saka (Si Pahit Lidah) akan kembali turun, menurunkan hukum di sekitar pohon itu pada zaman datangnya beliau. Setelah Prabu Niska mendengar dari rakyat bahwa buah pohon maja telah menjadi pahit oleh Aji Saka maka yg bersangkutan nyusul (kembali) ke pusat Kerajaan Saka untuk menantang dan mengetahui bagaimana pahitnya lidah Aji Saka. Sejak Persumpahan/pertanda itu beliau di juluki masyarakat Kendeng sebagai Si Pahit Lidah. Aji saka (Si Pahit Lidah) ditemui Prabu Niska (Si Mata Empat) di tepi danau Ranau, si mata empat menantang si pahit lidah sehingga terjadilah pertarungan, tak mengalahkan satu sama lainnya. Si Mata Empat mengajak adu kesaktian di bawah pohon enau(aren). Tantangan itu di terima Si Pahit Lidah, di mana Si Mata Empat menelungkup terlebih dahulu di bawah pohon enau, setiap tandan (buah) pohon enau yang di potong oleh Sipahit Lidah selalu dapat di elakan oleh Si Mata Empat. Sampai pada giliran Si Pahit Lidah menelungkup, maka sekali potong tandan buah enau langsung menimpa tubuhnya, sengaja tidak di elakan oleh Beliau. Dalam penglihatan Si Mata Empat beliau telah mati, maka turunlah Si Mata Empat dan karena Ketakaburannya/kebodohan ia ingin mencoba Lidah Si Pahit Lidah apakah benar rasanya pahit sebagaimana didengarnya dari rakyat, dgn seketika setelah di colet dan dicobanya mendadak Si Mata Empat mati juga di tempat tersebut. Jadi kematian Prabu Niska (Si Mata Empat) adalah melalu peristiwa pertarungan dgn Aji Saka di pohon enau itu atas kebodohannya sendiri, sebelumnya jika Aji Saka mau dgn sekali sumpah saja Prabu Niska mati karenanya. Dgn jalan ini sempurnalah siasat Aji Saka (Si Pahit Lidah) kembali kealam gaib (Pusaran Laut/Putaran Tasik Danau Ranau). Kemudian hari sesuai dgn pengaruh kebudayaan Hindu kedua beliau tersebut diabadikan rakyat merupakan patung demikian pula seakan-akan perbuatan Si Pahit Lidah (Sumpah) di abadikan juga sebagai patung antara lain: Raja menjadi batu, lesung menjadi batu, puteri menjadi batu, ayam menjadi batu, tapak petani dan kerbau menjadi batu dan menurut riwayat adiknya sendiri menjadi batu selagi menjemur padi dan kebayan (Penganten Baru) menjadi batu. Setelah Aji Saka (Si Pahit Lidah) kembali kealam gaib kebudayaan kerajaan saka /falsafah jaya sempurna telah membaur pada kebudayaan-kebudayaan. Zaman datangnya beliau yg telah merupakan kepribadian Nusantara/Indonesia yakni:"sesuatu yg baik" jika digali seutuhnya (kristalisasi) akan menjurus ke aslinya H.I.K (Falsafah Jaya Sempurna) yg garis besar (penanggulangannya masih di kenal sampe sekarang yakni "Ramah Tamah", yang jelas ini adalah hukum /rasa yg tidak berjiwa iblis ria, egois, munafik, intimidasi dan mendiskreditkan) Suku melayu di bagian sumatra Semenanjung dan di Semanjung mendapat kemajuan - kemajuan terutama dalam bidang pelayaran sehingga daerah inilah yg dikenal orang luar sebagai Suku Melayu atas pemberian nama oleh orang2 Jawa dahulu (berdirinya kerajaan melayu 1). Sebenarnya baik suku melayu kuno dan dan semenanjung mendapat kemajuan Saka bukan di namai Suku Melayu, kemungkinan besar di sebut suku perantau (sering mengembara) tetapi disebut suku saka mengingat wilayah itulah tempat turunnya Aji Saka dalam rangka penurunan hukum. Jadi dalam hal ini sebenarnya yg pantas dan layak di sebut suku melayu adalah Suku Hindi (Jawa) yg lari (melayu) ke pulau Nusa Kendeng tahun 78 masehi karena tidak suka menerima penerapan Hukum Inti Ketuhanan (falsapah Jaya Sempurna) dan mereka masih menganut agama Hindu(Kastaisme). Hukum inilah yg dimaksud Jaya turun tertua di pulau nusa kendeng, malahan suku jawa sekarang dan dipaku oleh Dewa mereka dgn Paku Alam. Suku Hindi yg tak seberapa banyak lagi masih tinggal dan membaur dgn rakyat minang dan mengaku nenek moyang mereka datang berlayar dari puncak gunung Himalaya ke daerah merapi (minang) terus menyebar. Kemudian hari setelah Aji Saka (Si Pahit Lidah ) kembali ke alam gaib, maka untuk beberapa puluh tahun lamanya masyarakat di daerah Saka (sekalom) khususnya, daerah Saka Tua (sekitar bukit barisan) tidak di perintah oleh Raja kuat(besar). Pada tahun 80 masehi timbulah peristiwa Saka tenggelam. Dalam pemerintahan Aji Saka kemajuan dalam pertanian sangat pesat sekali sehingga rakyat menjuluki beliau dgn nama Sang Hiang Rangkiang Sakti, maksudnya Rangkiang itu adalah lumbung padi sebagai lambang kesejahteraan /kemakmuran rakyat waktu itu. Sang Hiang Rangkiang Sakti dalam menjalankan misinya menurunkan hukum dari Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mengetes (menguji) pernah menyamar sebagai seorang tua yg masuk ke suatu desa di semendo yang berpenyakitan , di kerubuti oleh lalat. Orang desa tersebut menjauhkan diri sambil mencaci maki, dengan tenang beliau meminta tiga buah lidi dan setelah diberikan di tancapkan lidi tersebut ke tanah kemudian orang desa di persilakan untuk mencabutnya, satu persatu orang desa mencoba bahkan berpuluh-puluh orang mencabutnya tetapi tak bisa tercabut. Dengan tenang Beliau mencabut lidi tersebut dengan mudahnya. Tiba-tiba keluarlah air dari lobang sehingga desa beserta orangnya tenggelam. Sejak itu tempat tersebut di namai orang Danau Rakian Sakti, inilah akibat dari tidak adanya Rasa Kasih Sayang kepada orang-orang yg mereka anggap hina/lemah.

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Template by : kendhin x-template.blogspot.com